Upaya Hukum Pidana


Terhadap putusan Pengadilan, Terpidana berhak dapat melakukan upaya hukum berupa menerima atau menolak putusan tersebut. Menurut Pasal 1 butir (12) KUHAP, Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini.

I. Upaya Hukum Biasa

A. Banding

Banding adalah alat hukum (rechtsmiddel) yang merupakan hak Terdakwa, atau juga Penuntut Umum, untuk memohon supaya putusan Pengadilan Negeri diperiksa kembali oleh Pengadilan Tinggi.

Tujuan dari hak ini adalah untuk memperbaiki kemungkinan adanya kekhilafan pada putusan pertama. Hak memohon banding ini senantiasa diperingatkan oleh Hakim kepada Terdakwa setelah putusan diucapkan. Pengadilan Tinggi dapat membenarkan, mengubah atau membatalkan putusan Pengadilan Negeri.

Menurut ketentuan Pasal 67 KUHAP, Terdakwa atau Penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan Pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan Pengadilan dalam acara cepat.

B. Kasasi

Kasasi adalah suatu alat hukum yang merupakan wewenang dari Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan-putusan dari Pengadilan-pengadilan terdahulu, dan ini merupakan peradilan terakhir.

Menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP, Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas

Menurut ketentuan Pasal 253 (1) KUHAP, Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak guna menentukan:

a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;

b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;

c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Sejalan dengan Pasal 253(1) KUHAP, Pasal 30(1) UU No. 5/2004 tentang Perubahan atas UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan bahwa: Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:

a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

II. Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa. Upaya ini diajukan terhadap putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dimana upaya hukum hukum biasa tidak dimungkinkan lagi untuk dilakukan. Upaya hukum luar biasaterdari dari Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Peninjauan Kembali (PK).

A. Kasasi Demi Kepentingan Hukum

Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung.

Kasasi demi kepentingan hukum secara formal didasarkan pada Pasal 259 KUHAP, yang menentukan sebagai berikut:

1. Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.

2. Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.

Permohonan kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan satu kali saja oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung RI. Hukuman yang dijatuhkan tidak boleh lebih berat dari hukuman semula yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

B. Peninjauan Kembali (PK)

Terpidana atau ahli warisnya berhak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Permohonan PK hanya dapat dilakukan sebanyak satu kali. PK dapat dimintakan atas putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap di semua tinggat Pengadilan. Akan tetapi Pasal 263(1) KUHAP, terhadap putusan bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum, tidak dapat diajukan PK.

Pasal 263(2) KUHAP menentukan bahwa permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar :

a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

III. Upaya Grasi

Grasi merupakan upaya hukum istimewa, yang dapat dilakukan atas putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 1(1) UU No. 22/2002, Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

Upaya Grasi merupakan hak Terpidana untuk mendapatkan keadilan bagi dirinya. Presiden berdasarkan Pasal 11(1) UU No. 22/2002 dapat memberikan grasi dengan mempehatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Kekausaan Presiden memberikan grasi ini adalah salah satu Hak Prerogatif (istimewa) Presiden, selaku Kepala Negara.

Berdasarkan Pasal 6 UU No. 22/2002, menentukan bahwa yang berhak mengajukan grasi adalah:

1. Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden.

2. Keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana.

3. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.

Terpidana, kuasa hukumnya atau keluarga Terpidana dapat mengajukan permohonan grasi sejak putusan Pengadilan memperolah kekuatan hukum tetap. Permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu. Menurut ketentuan Pasal 4(2) UU No. 22/2002, pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa:

1. peringanan atau perubahan jenis pidana;

2. pengurangan jumlah pidana; atau

3. penghapusan pelaksanaan pidana.

Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.(Pasal 13 UU No. 22/2002)

Hak-hak Saksi Berdasarkan KUHAP


Pasal 1 angka (26)
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Pasal 1 angka (27)
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Pasal 14
Penuntut umum mempunyai wewenang :
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.

Pasal 65
Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.

Pasal 75 ayat (1)
Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang : h. Pemeriksaan saksi.

Pasal 84 ayat (2)
Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.

Pasal 112
(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

Pasal 113
Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya.

Pasal 116
(1) Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan.
(2) Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya.
(3) Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.
(4) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut.

Pasal 117 ayat (1)
Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun.

Pasal 118
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
(2) Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda-tangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.

Pasal 119
Dalam hal tersangka dan atau saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan, pemeriksaan terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.

Pasal 121
Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka dan atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai. akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.

Pasal 146 ayat (2)
Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal, hari serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.

Pasal 159 ayat (2)
Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk manyangka bahwa saksi itu tidak.akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.

Pasal 160
(1) a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum;
b. Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi;
c. Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.
(2) Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan, selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya.
(3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
(4) Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan.

Pasal 161
(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari.
(2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.

Pasal 181 ayat (3)
Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.

Pasal 182 ayat (3)
Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang.

Pasal 184
(1) Alat bukti yang sah ialah :
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Pasal 185
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Pasal 188
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. keterangan saksi;

Pasal 202 ayat (2)
Berita acara sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat juga hal yang penting dari keterangan saksi, terdakwa dan ahli kecuali jika hakim ketua sidang menyatakan bahwa untuk ini cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara pemeriksaan dengan menyebut perbedaan yang terdapat antara yang satu dengan lainnya.

Pasal 203 ayat (2)
Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti yang diperlukan.

Pasal 205 ayat (2)
Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan.

Pasal 208
Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu.

Pasal 227 ayat (1)
Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir.

Pasal 229
(1) Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pejabat yang melakukan pemananggilan wajib memberitahukan kepada saksi atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 238 ayat (4)
Jika dipandang perlu pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya.


Sumber : disarikan dari UU No. 8 tahun 1981

Sekilas Tindak Pidana Pemerasan dalam KUHP


[ini hanya kutipan tulisan hukum saja dan tidak mengikat, sekedar untuk memberikan pemahaman tentang yang perlu kita ketahui, untuk pembahasan lebih lanjut bisa didiskusikan lebih lanjut...]

Delik pidana pemerasan diatur dalam Pasal 368 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi :

(1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) ketentuan Pasal 365 ayat (2), (3), dan (4) berlaku bagi kejahatan ini.

Bagian inti delik :
- barang siapa (orang atau badan hukum);
- dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
- secara melawan hukum;
- memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan;
- untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang.

Penjelasan

Ad 1. pelaku bisa orang dan/atau badan hukum.

Ad 2. menhuntungkan diri sendiri atau orang lain itu merupakan tujuan terdekat, dengan memakai paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan itu. Jadi, kalau keuntunga itu akan diperoleh secara tidak langsung, artinya masih diperlukan tahap-tahap tertentu untuk mencapainya, maka bukanlah pemerasan (J.M. van Bemmelen – W.F.C. van Hattum, 1954: 291).
Dengan adanya bagian inti untuk menguntungkan diri sendiri atau oarang lain, maka delik ini ada persamaannya dengan delik penipuan yang disebut dalam Pasal 378 KUHP, yaitu ada penyerahan sesuatu dari korban kepada pembuat.
Akan tetapi, ada perbedaan mendasar, yaitu pada delik pemerasan ini ada paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, sehingga orang itu menyerahkan sesuatu atau mengadakan utang atau menghapus piutang sedangkan pada delik penipuan, korban tergerak untuk menyerahkan sesuatu dan seterusnya, rayuan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kata-kata bohong. Jadi pada delik pemerasan ini ancaman pidananya lebih berat dua kali lipat.

Ad 3. melawan hukum disini merupakan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Jadi, pembuat mengetahui bahwa perbuatannya untuk menguntungkan diri sendiri itu melawan hukum. Maksud disini merupakan sesuatu yang subjektif. Bagaimana jika kemudian, bahwa sebenarnya dia tidak melawan hukum? Misalnya A memaksa B untuk menyerahkan wasiat dari paman bernama X, sedangkan A piker ia tidak berhak untuk minta itu. Yang berhak ialah Y. ternyata kemudian dia juga berhak atas wasiat itu. Ini bukan pemerasan menurut J.M. van Bemmen – W.F.C. van Hattum.
Sebaliknya, bisa terjadi sesuatu perbuatan melawan hukum tetapi bukan pemerasan, misalnya seorang pemiutangmemaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan orang yang (memang) berutang untuk membayarnya, merupakan perbuatan melawan hukum, tetapi bukan delik pemerasan (J.M. van Bemmelen et.al. 292).

Ad 4. merupakan pemerasan jika seseornag memaksa menyerahkan barang yang dengan penyerahan itu dapat mendapatkan piutangnya, juka jika memaksa orang untuk menjual barangnya, walaupun dia bayar harganya dengan penuh atau bahkan melebihi harganya (Hoge Raad, 23 Maret 1936, N.J. 563 dan 814). Menurut menurut J.M. van Bemmen – W.F.C. van Hattum, delik pemersan ini erat hubungannya dengan delik pencurian dengan kekerasan dan perampokan (Pasal 365 KUHP), karena keduanya mengenai pengambilan barang orang. Perbedaannya ialah pada delik pemerasan ini ada semacam “kerja sama” dengan korban, karena korban sendiri yang menyerahkan barang itu dengan paksaan berupa kekerasan atau ancaman ancaman kekerasan, sedangkan pada delik pencurian dengan kekerasan tidaklah demikian, maksud pencuri itu mengambil sendiri.

Ad 5. delik pemerasan dan penipuan merupakan delik harta benda barang yang diserahkan bisa berupa barang tidak berwujud, yaitu utang atau penghapus piutang. Kalau dalam pencurian, barang yang diambil tidak meungkin berupa penghapusan utang. Penghapusan utang misalnya dengan paksaan, seseorang menandatangani kuitansi tanda lunas, padahal belum bayar.

delik = tindak pidana; perbuatan pidana

Sumber : Andi Hamzah, Delik-delik tertentu di dalam KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 82-85

Tentang Blog ini

Blog ini berisikan tulisan, baik tulisan pribadi maupun tulisan dari lainnya (yang tentunya disertai dengan sumbernya) mengenai hukum pidana, perdata, masalah keluarga dan lainnya. agar kita semua menjadi tahu akan hak-hak yang kita miliki dan kewajiban-kewajiban yang harus kita jalani.